Artikel
Penulis:
Muhammad Yusuf, S.Si.
Serangan ulat api (Setothosea asigna) kembali mengancam perkebunan kelapa sawit di Sulawesi Tenggara. Hama ini menyerang daun muda hingga jantung sawit, menyebabkan penurunan produksi yang signifikan. Artikel ini mengulas ciri-ciri ulat api, gejala serangannya, serta strategi pengendalian terpadu yang efektif untuk melindungi tanaman sawit dari kerusakan serius.
Kelapa sawit (Elaeis guinensis Jacq) merupakan salah satu komoditas perkebunan utama yang telah mengukir jejak signifikan dalam lanskap ekonomi dan agraria Sulawesi Tenggara (Sultra). Berawal dari pengembangan skala kecil, kini perkebunan kelapa sawit di Sultra telah berkembang menjadi sektor strategis yang menyerap ribuan tenaga kerja dan menjadi sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang penting. Provinsi Sulawesi Tenggara merupakan daerah terbesar ketiga perkebunan sawit di Pulau Sulawesi, dengan luas sekitar 59 ribu hektar pada tahun 2023 sesuai data Dinas Perkebunan Sultra. Areal perkebunan sawit di Sultra tersebar di tujuh kabupaten yakni Kabupaten Konawe, Kolaka, Muna, Konawe Utara, Muna Barat, Bombana, dan Kolaka Timur. Luasan perkebunan sawit di Provinsi Sultra terus bertumbuh karena didukung dengan ketersediaan lahan (Telisik, 2024).
Para petani kelapa sawit selalu berusaha untuk mendapatkan hasil yang maksimal. Serangan hama menjadi salah satu penyebab para petani susah untuk mendapatkan hasil yang maksimal. Pada tanaman kelapa sawit, hama yang menyerang datang dari berbagai jenis ordo serangga. Kelapa sawit menjadi sarang makanan dari serangga Coleoptera, Lepidoptera, Isoptera dan Orthoptera (Nurhasnita, dkk 2020). Salah satu jenis hama yang paling sering menyerang dan dijumpai adalah ulat api (Setothosea asigna, Setora nitens, Darna trima, dan Setothosea bisura). Serangan ulat api bisa menurunkan 12% hingga 30% produksi tanaman kelapa sawit baik pada fase TBM maupun TM (Ditjenbun, 2021). Selain menurunnya produksi akibat serangan ulat api, biaya yang membengkak untuk mencegah gagal produksi juga menjadi kerugian dari serangan hama ini (Efendi, Febriani and Yusniwati, 2020).
Dibalik rimbunya perkebunan, tersembunyi ancaman senyap yang mampu melucuti daun daun sawit hingga ke tulang pelepah. Mari mengenal lebih dekat dengan hama Ulat api (Setothosea asigna) predator kecil yang dampaknya bisa menyebabkan kerugian finansial masif bagi para petani dan industri.
A. Karakteristik Hama Ulat Api (Setothosea asigna)

Telur diletakan berderet 3-4 baris sejajar dengan permukan daun sebelah bawah. Telur biasanya diletakan pada pelepah daun ke 16-17. Satu kelompok telur terdiri dari 4 butir. Telur biasanya menetas 4-8 hari setelah diletakan. Telur berwarna kuning kehijauan, berbentuk oval, sangat tipis dan transparan. Telur diletakkan berderet 3-4 baris sejajar dengan permukaan daun sebelah bawah, biasanya pada pelepah daun ke 6-17. Satu tumpukan telur berisi sekitar 44 butir dan seekor ngengat betina mampu menghasilkan telur 300-400 butir. Telur menetes 4-8 hari setelah diletakkan.
Larva ulat api berwarna hijau kekuningan dan biasanya berubah menjadi kemerahan menjelang masa kepompong. Larva memiliki corak yang khas berbentuk pita yang menyerupai piramida pada bagian pungungnya. Corak tersebut berwarna coklat sampai ungu keabu-abuan dan putih. bagian punggungnya ditumbuhi duri-duri yang kokoh dan berbahaya.
Imago ulat api berupa ngengat yang memiliki ciri spesifik pada sayapnya. Ngengat Setothosea asigna memiliki warna sayap yang berbeda antara sayap depan danbelakang. Sayap depan berwarna coklat kemerahan, sedangkan sayap belakang berwarna coklat muda. Pada sayapnya terdapat garis transparan dan bintik-bintik berwarna coklat gelap (Pebri sabrian, 2025).
B. Gejala serangan. Hama Ulat Api (Setothosea asigna )
Gejala serangan hama Setothotesa asigna ini terlihat pada bagian daun yang terlihat seperti terbakar. Pada helaian daun terdapat lubang yang memanjang. Pada serangan yang parah terlihat yang terjadi pada daun yakni helaian terkikis mulai dari bagian bawah daun hingga atas dan hal tersebut membuat daun hanya meninggalkan tulangnya saja. Tingkat kerusakan yang disebabkan cukup parah, gejala tersebut yaitu daun kelapa sawit seperti terbakar, helaian daun yang terserang hama ini akan berlubang memanjang dan terkikis mulai dari bagian bawah daun hingga menyisakan tulang daun atau sering disebut melidi. Pengaruh dari serangan hama ulat api gambar ini pada tanaman kelapa sawit yaitu turunnya produksi serta kualitas Tandan Buah Segar (TBS), karena dalam hal ini proses fotosintesis terganggu akibat hilangnya daun yang hampir mencapai 90% per pelepah daun. Serangan pada tanaman menghasilkan dapat menurunkan produksi hingga 30-40% selama 2 tahun adanya serangan. Sedangkan untuk tanaman yang belum menghasilkan dapat menurunkan produksi sekitar 12-24% (Munawir Haris, Jamaluddin, 2021).
C. Cara Pengendalian Hama Ulat Api (Setothotesa asigna)
Pengendalian Secara Mekanis Pengendalian secara mekanis dilakukan dengan cara mengambil dan membunuh secara langsung ulat api terutama pada bagian tanaman yang dapat dijangkau dapat dijangkau biasanya pada bibit tanaman kelapa sawit ataupun dahan yang rendah. Untuk kelompok tanaman kelapa sawit yang sudah menghasilkan, pengendalian dilakukan dengan mencari kepompong yang biasanya terdapat di pangkal tanaman, kemudian dimusnahkan dengan cara dibakar.
Pengendalian Secara Biologis Pengendalian dilakukan dengan pemanfaatan musush alami, patogen, parasit bagi hama ini. Dalam hal ini biasanya yaitu dengan memanfaaatkan fungsi dari agen antagonis, yang biasanya yakni Bacillus thuringiensis, Cordyceps militaris dan Multi-Nucleo Polyhydro Virus (MNPV). Selain itu pengendalian juga dapat dilakukan dengan menanam bunga pukul delapan (Tunera Subulata) yang berfungsi sebagai sumber pakan serta pengundang predator ulat api (Rustam, dkk 2016).
Pengendalian Secara Kimia Pengendalian secara kimiawi dilakukan dengan penggunaan pestisida yang mana mampu membasmi adanya ulat api. Penggunaan dilakukan jika tingkat populasi ulat api sudah mencapai 5 -10 ekor ulat pada setiap pelepah daun. Pada tanaman kelapa sawit yang masih rendah, pengendalian dapat dilakukan dengan menyemprotkan secara langsung larutan insektisida. Untuk yang tinggi atau susah dijangkau, dilakukan dengan cara fogging pada malam hari serta tidak dibarengi hujan. Bahan aktif yang digunakan yaitu insektisida dengan bahan aktif Deltametrin, dosis biasanya 2cc/liter air. Tapi dalam hal ini ditakutkan jika penggunaanya dapat mecemari lingkunagan serta membunuh keberadaan organisme yang menguntung, jika populasinya masih sedikit atau belum menyentuh ambang batas, penyemprotan dapat dilakukan dengan menggunakan ekstrak daun sirsak yang mana cukup efektif (Saragih, dkk 2019).




